Senin, 19 September 2016

Budaya Kearifan Lokal untuk Konservasi Sumber Mata Air di Lingkungan Sekitar

Nurul Istiqomah, S. Si., M. Sc.
Dosen Biologi bidang botani

Kita mungkin sudah tidak asing lagi saat mendengar kata kearifan lokal (“Local wisdom”). Seperti yang kita ketahui kearifan lokal merupakan sebuah tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, serta lingkungan yang terangkum dalam sebuah sistem masyarakat lokal dan telah dilaksanakan serta dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang bernilai baik dan memberikan dampak positif terhadap kelestarian lingkungan sekitar dalam mencegah kerusakan lingkungan, baik tanah atau lahan, hutan, maupun air.


Air menjadi kebutuhan essensial bagi makhluk hidup. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, kebutuhan air saat ini sudah semakin meningkat, sedangkan sumber air tanah yang ada saat ini sudah banyak tercemar. Penggunaannya pun sudah melebihi kapasitas yang ada. Beberapa budaya kearifan lokal yang biasa dilakukan untuk menghemat penggunaan air dan memelihara sumber mata air diantaranya ada penggunaan istilah “Keramat” untuk suatu tempat yang dianggapnya sebagai pemberi petuah (mengandung unsur gaib), “Pamali” yang digunakan untuk budaya pelarangan (larangan) terhadap suatu aktivitas, dan “Subak” yang digunakan pada bidang pertanian dalam menghemat penggunaan air, serta banyak lagi istilah lainnya. Di bawah ini adalah ulasan mendalam terkait tiga istilah yang telah disebutkan:

Keramat

Sebagian besar daerah di Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia, terdapat sebuah tradisi yang menganggap keramat pohon besar (contohnya pohon beringin). Dampak positif dari adanya kearifan lokal tersebut adalah adanya bentuk konservasi pada pohon tersebut yang menjadi sumber mata air, karena akarnya yang besar dan banyak. Kearifan lokal tersebut dapat dilihat pada masyarakat di Desa Beji, Ngawen, Gunung Kidul. Masyarakat di Desa Beji tersebut memiliki hutan adat Wonosadi yang didalamnya terdapat sumber mata air. Kondisi lingkungan (flora, fauna dan sumber mata air) di sekitarnya terjaga dengan sangat baik sebagai daerah resapan air hujan yang hingga saat ini terdapat tiga mata air yang mengalir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Masyarakat di Desa Beji juga membentuk kelompok yang disebut “Jagawana” untuk menjaga daerah tangkapan di sekitar mata air Wonosadi.

Pamali

Budaya kepamalian merupakan bentuk aturan-aturan adat yang memberikan batasan terhadap penggunaan air dan sumber daya alam lainnya yang berdampak bagi lestarinya sumber mata air. Masyarakat Kampung Kuta menggunakan sumberdaya air dari mata air Cibungur, Ciasihan, Cinangka, dan Cipanyipuhan ke dalam dua fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Masyarakat Kampung Kuta juga melarang (Pamali) untuk membuat sumur. Hal ini bertujuan untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan menjaga kestabilan tanahnya. Budaya kepamalian juga diterapkan di daerah lainnya, seperti di masyarakat Sunda dan Banjar, Kalimantan Selatan.

Subak

Subak merupakan suatu sistem pengairan yang diterapkan pada sektor pertanian. Subak memiliki lima peran dalam aktivitas pertanian, antara lain pencarian dan pendistribusian air irigasi, operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, mobilisasi sumberdaya, penanganan sengketa, dan upacara keagamaan/ritual.

Adanya kearifan lokal yang telah dilaksanakan secara turun temurun, dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya. Sebaiknya dalam mengeksplotasi sumber daya alam tidak dengan berlebihan dan tetap menjaga kelestarian lingkungan atau habitatnya agar sumber daya alam tersebut tetap dapat digunakan hingga ke generasi selanjutnya. Dalam hal ini bukan hanya peran pemerintah saja yang bertugas untuk menjaga dan melindungi keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam yang ada di dalamnya, namun peran serta masyarakatnya juga diperlukan dalam mewujudkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar